Tuesday, March 20, 2012

JUAL TANAH 3299 M2 JAKSEL

Dijual sebidang tanah seluas 3299 m2, surat girik. Lokasi pinggir jalan raya Harsono RM, dekat dengan kebun binatang ragunan. Cocok untuk Town house, kompleks ruko, kantor dll.
Harga : 5 juta / m2
Agen : 021-94787755

Jual Rumah Mewah Jati Bening Bekasi







Dijual sebuah Rumah Mewah dengan fasilitas multifungsi, karena terdiri dari bangunan kantor sekaligus rumah tinggal. Dapat pula di gunakan sebagai full kantor dengan jenis multi usaha.
Berikut spesifikasinya :
Luas tanah 1610 m2, luas bangunan 1400 m2, sertifikat hak milik. Posisi dipinggir jalan ratna. akses dekat dengan pintu tol cikampek.

Fasilitas :
- kolam renang
- cafe
- Ruang senam / Gym
- Studio band
- Studio Foto
- Toilet + Locker
- Ruang Rapat
- AC central
- Lahan parkir bisa 15 > mobil
- dan beberapa ruangan lainnya.

Harga : 6,5 Milyar negosiable.
peminat silahkan hub : 021-94787755

Jual Rumah Mewah Jakarta Selatan








Segera dijual rumah mewah di wilayah Jakarta selatan, jalan Paso- M. Kahfi 1. Lokasi pinggir jalan hook. Sertifikat hak milik , Luas tanah 2800 m2, luas bangunan 1000 m2.
Fasilitas :
- 7 kamar tidur + kamar mandi
- Kolam renang
- Mushola
- lahan parkir luas
- Full Furnish lux.

Harga : 15 Milyar negosiable.
Peminat silahkan hub : 021 94787755

Tuesday, March 6, 2012

Mencari Gelar “Pak Haji”

Ibadah haji adalah ibadah yang teramat mulia. Sungguh amat sulit untuk saat ini berangkat langsung dari tanah air karena antrian yang saking panjangnya. Namun demikian antusias orang di negeri kita di mana mereka amat merindukan ka’bah di tanah suci. Sampai-sampai berbagai cara ditempuh dan dijalani untuk bisa ke sana meskipun dengan cara yang tidak Allah ridhoi. Selain itu tidak sedikit yang niatnya untuk selain Allah, hanya ingin mencari gelar. Label pak Haji-lah yang ingin disandang bukanlah ridho dan pahala dari Allah yang dicari. Sampai-sampai ada yang mengharuskan di depan namanya harus dilabeli gelar “H”.

Keutamaan Haji Mabrur

Haji adalah amalan yang teramat mulia. Sampai-sampai yang berhaji disebut dengan tamu Allah dan apa saja yang mereka panjatkan pada-Nya mudah diperkenankan. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ

“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Amalan haji terutama haji mabrur termasuk dalam jajaran amalan yang paling afdhol. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)

Dan haji pun termasuk jihad. Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »

“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad? “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 1520)

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, ‘Aku telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdhol’.” (Lathoif Al Ma’arif, 403)

Balasan bagi haji mabrur adalah surga, ini sungguh balasan yang luar biasa. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).

Apa itu Haji Mabrur?

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.”

Al Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.” (Tafsir Al Qurthubi, 2/408)

An Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata ‘birr’ yang bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’. Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.” (Syarh Shahih Muslim, 9/118-119)

Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya’, bukan ingin mencari pujian, bukan ingin disebut “Pak Haji”.

Ikhlaslah dalam Ibadah

Dalam setiap ibadah kita diperintahkan untuk ikhlas di dalamnya. Kita diperintahkan beribadah untuk mengharap wajah Allah dan mengharap ridho-Nya. Jika kita beribadah malah ingin mencari pujian, maka jadi sia-sialah ibadah tersebut. Termasuk di dalamnya menunaikan haji hanya ingin mencari gelar pak Haji, segala pengorbanan yang kita tumpahkan dari sisi biaya maupun tenaga, itu jadi tidak bernilai apa-apa. Perintah Allah untuk ikhlas sebagaimana dalam firman-Nya,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba apakah ia ikhlas ataukah ingin cari muka di hadapan manusia dalam ibadahnya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ

“Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui”.” (QS. Ali Imran: 29)

Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ atau ingin cari pujian manusia dalam firman-Nya,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)

Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sia-sialah amalan yang hanya ingin cari muka atau cari pujian manusia dalam sabdanya,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985). Imam Nawawi mengatakan, “Makna hadits ini adalah bahwa Allah tidak peduli pada orang menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan selain-Nya. Barangsiapa yang beramal yang dia tujukan untuk Allah dan juga untuk selain-Nya, maka Allah tidak akan menerima amalannya bahkan Allah akan meninggalkan dirinya jika ia bermaksud demikian. Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.” (Syarh Shahih Muslim, 18/116). Artinya, siapa yang berhaji namun hanya ingin cari gelar, maka amalannya bisa jadi sia-sia belaka. Ikhlaslah dalam beribadah pada Allah Ta’ala. Abul Qosim berkata, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 50-51)

Amalan sholeh yang bisa disembunyikan lebih baik disembunyikan, tidak perlu seluruh dunia mengetahuinya dan tidak perlu ingin cari pujian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka menyembunyikan amalannya.” (HR. Muslim no. 2965). Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?” Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.” Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.” (Dinukil dari Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas).

Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari pujian. Namun jika ia dipuji karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”

Semoga Allah menganugerahkan kita sifat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan menjauhkan kita dari penyakit riya’ yang dapat menghapus amalan.

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal
courtesy:muslim.or.id

Wednesday, February 15, 2012

Do'akanlah kebaikan untuk kami, agar mendapat kebaikan yang sama

Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : Do’a seorang muslim untuk saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat yang bertugas. Setiap kali dia mendo'akan kebaikan untuk saudaranya, malaikat tersebut berkata : "Aamiin, dan engkau akan mendapatkan yang sama dengannya." [HR. Muslim 2733]

Nasehat, Teguran, dan Pelajaran



[1] Istighfar Palsu

Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah berkata, “Betapa banyak orang yang beristighfar namun dimurkai. Dan betapa banyak orang yang diam namun dirahmati.” Kemudian beliau menjelaskan, “Orang ini beristighfar, akan tetapi hatinya diliputi kefajiran/dosa. Adapun orang itu diam, namun hatinya senantiasa berzikir.” (al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, karya al-Khathib al-Baghdadi, hal. 69)

[2] Niat Menimba Ilmu

Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71)

[3] Guru Terbaik

Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.” (al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)

[4] Rusaknya Hati

Muhammad bin Ya’qub rahimahullah berkata: Suatu saat aku mendengar al-Junaid ditanya mengenai hati; faktor apa yang merusak hati seorang pemuda? Maka beliau menjawab, “Rasa tamak/hawa nafsu dan ambisi.” Lalu beliau ditanya, “Lantas apa yang bisa memperbaiki keadaannya?”. Beliau menjawab, “Sikap wara’/menjaga diri dari yang diharamkan.” (al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 72)

[5] Kenali Dirimu!

Suatu saat ada seorang lelaki berkata kepada Malik bin Dinar, “Wahai orang yang riya’!”. Maka beliau menjawab, “Sejak kapan kamu mengenal namaku? Tidak ada yang mengenal namaku selain kamu.” (al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 93)

[6] Antara Wajah dan Perbuatan

Sebagian orang bijak mengatakan, “Semestinya bagi orang yang berakal untuk senantiasa memperhatikan wajahnya di depan cermin. Apabila wajahnya bagus maka janganlah dia perburuk dengan perbuatan jelek. Dan apabila wajahnya jelek maka janganlah dia mengumpulkan dua kejelekan di dalam dirinya.” (al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 105)

[7] Amalan Setelah Berbuat Dosa

Seorang lelaki menemui seorang ahli ibadah. Ahli ibadah itu bertanya kepadanya, “Apakah kamu pernah melakukan suatu perbuatan dosa?”. Dia menjawab, “Iya.” Ahli ibadah itu pun berkata, “Itu artinya kamu sudah mengetahui bahwa Allah menetapkan hal itu menimpamu?”. Dia menjawab, “Iya.” Lalu ahli ibadah itu berpesan, “Maka sekarang beramallah sampai kamu mengetahui bahwa Allah ‘azza wa jalla benar-benar telah menghapus dosa itu darimu.” (al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 124)

[8] Kiat Menghafal Hadits

Waki’ rahimahullah berkata, “Apabila kamu ingin menghafalkan hadits, maka amalkanlah hadits itu.” (lihat mukadimah az-Zuhd karya Imam Waki’, hal. 91)

Waki’ rahimahullah juga berpesan, “Mintalah pertolongan -kepada Allah- untuk menguatkan hafalan dengan cara mempersedikit dosa.” (mukadimah az-Zuhd, hal. 91)

[9] Nikmat dan Adzab

Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang tidak mengenali kenikmatan Allah terhadap dirinya selain urusan makanan dan minumannya, maka sungguh sedikit ilmunya dan telah datang adzab untuknya.” (Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 48)

[10] Larut Dalam Pujian dan Celaan

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Salah satu ciri orang munafik adalah menggandrungi pujian dan membenci celaan/kritikan.” (Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 51)

[11] Pembersihan Dosa

Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Aku pernah mendapat berita bahwa ada salah seorang dari kaum Anshar yang apabila datang waktu sholat maka dia mengatakan -kepada teman-temannya-: “Berwudhulah kalian, sesungguhnya sebagian ucapan yang tadi kalian katakan lebih kotor daripada hadats.”.” (Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 53)

[12] Hakikat Syukur

Muhammad bin Ka’ab rahimahullah mengatakan tentang maksud ayat (yang artinya), “Beramallah wahai keluarga Dawud sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13). Kata beliau, “Hakikat syukur adalah bertakwa kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.” (Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 65)

[13] Godaan Perempuan

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sungguh apabila aku dititipi untuk menjaga sebuah rumah dari permata itu jauh lebih aku senangi daripada harus dititipi seorang perempuan cantik.” (Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 67)

[14] Menimba Ilmu Atau Bekerja

Abdurrahim bin Sulaiman ar-Razi rahimahullah berkata: Dahulu kami belajar kepada Sufyan ats-Tsauri. Apabila datang kepadanya seorang lelaki dalam rangka menimba ilmu, maka beliau pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki jalan penghasilan?”. Apabila orang itu mengabarkan bahwa dia dalam keadaan cukup, maka beliau memerintahkannya untuk menimba ilmu. Dan apabila ternyata orang itu belum berkecukupan maka beliau memerintahkannya untuk mencari pekerjaan (Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 69-10)

[15] Jangan Sebarkan Kekejian!

Khalid bin Ma’dan rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menceritakan kepada orang-orang semua yang dia lihat dengan kedua pasang matanya, atau apapun yang dia dengar dengan kedua pasang telinganya, atau apa saja yang dipungut oleh kedua tangannya, maka dia termasuk “Orang-orang yang menyukai tersebarnya kekejian di tengah-tengah kaum yang beriman.” (QS. an-Nuur: 19).” (Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 71)

[16] Sambutan Yang Indah

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Dahulu apabila kami datang menemui Anas bin Malik, tatkala beliau melihat kedatangan kami maka beliau minta diambilkan minyak wangi. Kemudian beliau mengusap minyak wangi itu dengan kedua telapak tangannya lalu menyalami saudara-saudaranya yang datang.” (Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 81)

[17] Catat, Hafalkan, dan Sampaikan!

Yahya bin Khalid al-Barmaki rahimahullah berkata kepada anaknya, “Dahulu mereka -pendahulu yang salih- mencatat sesuatu yang terbaik dari apa yang mereka dengar. Mereka menghafalkan sesuatu yang terbaik dari apa yang mereka catat. Kemudian mereka menyampaikan sesuatu yang terbaik dari apa yang mereka hafalkan.” (al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat, hal. 126)

[18] Bukan Amal Biasa-Biasa

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Amal yang paling berat ada tiga; dermawan ketika kondisi serba sedikit, bersikap wara’/menjauhi keharaman tatkala bersendirian, dan mengucapkan kebenaran di hadapan orang yang diharapkan dan ditakuti.” (al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat, hal. 133)

[19] Apalah Artinya Dunia

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seandainya seluruh isi dunia ini dijadikan halal bagiku, niscaya aku akan tetap menganggapnya sebagai sesuatu yang kotor dan menjijikkan.” (al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat, hal. 144)

[20] Puncak Syukur

Muhammad bin al-Hasan rahimahullah menceritakan: as-Sari bertanya kepadaku, “Apakah puncak syukur itu?”. Aku menjawab, “Yaitu Allah tidak didurhakai pada satu nikmat pun -yang telah diberikan-Nya-.” Lalu dia mengatakan, “Jawabanmu tepat, wahai anak muda.” (al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat, hal. 144)


sumber : http://abumushlih.com/nasehat-teguran-dan-pelajaran.html/

Sabar Tidak Ada Batasnya

Hakikatnya, kesabaran itu tidak memiliki batas sebagaimana ganjaran yang Allah sediakan bagi mereka yang bersabar pun tidak memiliki batas.

Allah berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Ibnu Al-Jauzi mengatakan dalam Tashil li Ulumi At-Tanzil, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. Ayat ini dapat ditafsirkan dengan dua makna. Pertama, orang yang sabar akan mendapatkan balasan pahala atas kesabarannya dan Allah tidak menghisab amalannya. Mereka inilah yang dijanjikan masuk surga tanpa hisab. Kedua, balasan orang yang melakukan kesabaran itu tidak terbatas, lebih banyak dari apa yang diperhitungkan dan lebih besar daripada apa yang ditakar di mizan pahala, inilah pendapat mayoritas ulama.

Sabar adalah amalan yang agung, sampai-sampai Allah katakan bahwasanya Dia bersama orang yang sabar.

وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan bersabarlah! Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal:46)

Dari ayat ini dapat kita katakan, ketika kita memilih untuk tidak bersabar berarti kita telah memilih untuk melepaskan kebersamaan Allah berupa rahmat dan perlindungan-Nya.

Dengan kesabaran pun Allah akan mengangkat seseorang menjadi pemimpin umat, panutan, dan kedudukan yang mulia. Allah berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24)

Demikian besar rahmat dan ganjaran yang Allah berikan bagi orang-orang yang bersabar. Pahala dan keutamaan yang begitu besar ini; ma’iyah (kebersamaan) dari Allah, pahala tanpa batas, kedudukan yang mulia, semestinya menjadikan seseorang berkeinginan kuat dan terpacu untuk mewujudkan hakikat kesabaran itu sendiri, yakni kesabaran yang tiada batas.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com