Sebagai bagian dari fitrah
kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat seksual. Islam
memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati seorang muslim
tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya.
Bulan Syawal,
bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin. Anggapan
ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin biasanya
memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk melangsungkan aqad
nikah.
Kebiasaan tersebut tidak lepas dari
anjuran para ulama yang bersumber dari ungkapan Sayyidatina Aisyah
binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi Baginda Nabi pada bulan Syawwal.
Ia berkomentar,
“Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”
Namun,
untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja tidak
cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu
dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar
meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang
(rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya –dan yang paling
penting– adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut
jima’.
Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim
–menurut Islam– termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama
dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan
nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan
hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.
Selain
itu jima’ yang halal juga merupakan iabadah yang berpahala besar.
Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat
lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan
menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian
menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga
sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.”
(HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Karena bertujuan
mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah
tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan
tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.
Hubungan intim, menurut
Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi),
sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara
keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang
bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang
dianugerahkan Allah.
Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya
menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar
jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan;
Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai
meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan
akan kering sendiri.
.
Wajahnya MuramMuhammad
bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam
waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan
menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang
yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya
menjadi dingin dan wajahnya muram.”
Sedangkan di antara manfaat
bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya
pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima’
juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan
tiada tara yang dihasilkannya.
.
Puncak kenikmatan bersetubuh
tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks
pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil
hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa
dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.
Mengapa
wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam
mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah.
Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan
berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih
besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la
dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya
mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga
wajib.
Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah
kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama.
Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan
praktik-praktik seks menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang secara
medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam
aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang
belakangan kerap terjadi.
Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma
la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sesuatu yang menjadi
syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan
mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga
hukumnya wajib.
Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh
sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau
keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang
kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas.
Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.
Dan, salah
satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan
atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah).
Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan
mempercepat wanita mencapai faragh.
Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda,
“Janganlah
salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang.
Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan
cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).
Ciuman dalam hadits
diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW,
diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum
lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami
istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.
Ketika Jabir
menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau
tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria?
…yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079)
dan Muslim (II:1087).
.
Bau MulutKarena
itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur
yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik
berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang
akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’,
bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat
pasangan.
Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua
ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang
gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang
merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain
istrinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam
pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh
bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan.
Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu
Taymiyyah berpendapat.
Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip
perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk
manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,
“Diperbolehkan bagi suami
istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk
kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati
dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari
pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
Berkat
kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa
yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah
kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh
pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama
Rasulullah dalm satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk
mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri
mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah
pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan
santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik
tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.
Diperbolehkan
bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena
desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi
meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang
istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala
keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata,
“Lakukan seperti yang kemarin.”
Satu hal lagi yang menambah
kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh.
Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada
pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks.
Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks
itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya.
Allah SWT berfirman,
“Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
.
Posisi Ijba’Menurut
ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah.
Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin
mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan
hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.
Ijba adalah
posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang.
Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar
perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan
cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat
tersebut.
Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam
Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya
menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau
bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan,
karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud
adalah berketurunan.
.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam
‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam
Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun :
berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”
Demikianlah,
Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki
ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya
mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas
tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap
bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya.
(Kang Iftah. Sumber : Sutra Ungu, Panduan Berhubungan Intim Dalam Perspektif Islam, karya Abu Umar Baasyir)