1. Apa hukum menerima hibah (pemberian) atau hadiah dari orangtua, 
kerabat atau selain kerabat, sedangkan kita mengetahui bahwa harta 
mereka dihasilkan dari cara-cara yang haram, seperti hasil bekerja di 
bank yang telah kita ketahui bersama bahwa bank menggunakan muamalah 
riba yang dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya atau 
usaha-usaha haram lainnya? Juga ketika kita mengunjungi mereka, apa 
hukum menyantap jamuan yang mereka hidangkan?
2. Bagaimana dengan seorang anak yang hidup di bawah tanggungan nafkah 
orangtuanya yang berpenghasilan haram seperti riba atau yang lainnya?
1. Apa hukum menerima hibah (pemberian) atau hadiah dari orangtua, 
kerabat atau selain kerabat, sedangkan kita mengetahui bahwa harta 
mereka dihasilkan dari cara-cara yang haram, seperti hasil bekerja di 
bank yang telah kita ketahui bersama bahwa bank menggunakan muamalah 
riba yang dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya atau 
usaha-usaha haram lainnya? Juga ketika kita mengunjungi mereka, apa 
hukum menyantap jamuan yang mereka hidangkan?
2. Bagaimana dengan seorang anak yang hidup di bawah tanggungan nafkah 
orangtuanya yang berpenghasilan haram seperti riba atau yang lainnya? 
Alhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi 
washahbihi waman walah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا 
أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ 
اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِى
 الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى
 يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلاَ 
وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً 
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ 
الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya 
ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) 
yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa 
menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka sungguh dia telah 
berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjatuh dalam 
perkara syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam perkara 
haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya 
di sekitar daerah larangan, hampir saja dia terseret untuk 
menggembalakannya dalam daerah larangan. Ketahuilah bahwa setiap 
penguasa memiliki daerah larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah
 Subhanahu wa Ta’ala adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah bahwa
 sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat daging, jika sekerat 
daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun jika sekerat 
daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa 
itu adalah qalbu. ” (HR. Al-Bukhari, no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599 
dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma)
Sikap wara’, yaitu berhati-hati dari sesuatu yang dikhawatirkan akan 
memudaratkan agama dan akhirat, adalah sikap yang terpuji dan dituntut 
dari seorang muslim. Seorang muslim yang tidak memiliki wara’ akan 
bermudah-mudahan dengan perkara syubhat yang tidak jelas kehalalan dan 
keharamannya, sehingga menyeretnya bermudah-mudahan dengan perkara 
haram, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam 
hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma di atas. Namun seperti 
kata Al-Imam Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ dalam 
Kitabul Bai’, Babul Ijarah: “Wajib atas setiap muslim untuk melihat 
setiap perkara dengan timbangan syariat dan akal yang sehat. Bukan 
dengan timbangan perasaan yang buta (yang merupakan permainan hawa 
nafsu). Karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak zaman 
para sahabat. ”
Alhamdulillah, para ulama telah berbicara dan berfatwa dalam permasalahan-permasalahan ini.
1. Untuk permasalahan yang pertama Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai 
oleh Al-Imam Al-’Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz mengeluarkan fatwa yang 
rinci dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/330-331):
“Jika engkau mengetahui secara persis bahwa hadiah yang diberikan 
kepadamu dan makanan yang dihidangkan untukmu adalah harta yang 
dihasilkan dengan cara yang haram, maka jangan terima hadiah itu dan 
jangan makan hidangan itu. Demikian pula hukumnya jika seluruh harta 
mereka dihasilkan dengan cara yang haram.
Adapun jika harta mereka bercampur antara yang halal dan haram, tanpa 
ada kejelasan mana yang halal dan mana yang haram, maka ada khilaf 
(perbedaan pendapat) di antara ulama tentang hukum menerima hadiahnya 
dan memakan hidangannya serta muamalah semisalnya.
Ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram secara mutlak.
Ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram jika lebih dari sepertiga hartanya adalah haram.
Ada yang berpendapat, hukumnya haram jika mayoritas hartanya haram.
Ada pula yang berpendapat, hukumnya halal secara mutlak, maka halal baginya untuk menerima hadiahnya dan memakan hidangannya.
Pendapat (yang terakhir) inilah yang zhahir (yang nampak) kebenarannya 
dengan dalil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima dan memakan 
seekor domba bakar (panggang) yang diberikan oleh seorang wanita 
Yahudi1, serta keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
“Dan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashara) halal bagi kalian. ” (Al-Ma`idah: 5)
Merupakan sesuatu yang diketahui bersama bahwa orang-orang Yahudi dan 
Nasrani makan harta riba dan tidak menjaga diri dari penghasilan yang 
haram. Mereka menghasilkan harta dengan cara yang halal dan haram. 
Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan untuk memakan sembelihan
 mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan sembelihan 
mereka. Sekian ahli hadits telah meriwayatkan dari hadits Sufyan 
Ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Zirr bin Abdillah, dari 
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَهُ فَقَالَ: إِنَّ لِيْ جَارًا يَأْكُلُ الرِّباَ 
وَإنَِّهُ لاَ يَزَالُ يَدْعُوْنِي. فَقَالَ: مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ 
عَلَيْهِ
“Bahwasanya seorang lelaki bertanya kepadanya dengan berkata: 
‘Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang makan riba dan senantiasa 
mengundangku untuk makan di rumahnya. ’ Maka Ibnu Mas’ud menjawab: 
‘Nikmatnya untukmu dan dosanya atas dirinya’. ”2
Namun seandainya seorang muslim menjaga diri dari perbauran dengan 
mereka serta mengurangi frekuensi acara hadiah-menghadiahi dan 
kunjung-mengunjungi dengan mereka, kemudian membatasi diri dengan 
apa-apa yang membawa maslahat dan dituntut oleh kebutuhan saja, tentu 
hal itu lebih baik baginya. ”
Pendapat ini pula yang difatwakan oleh Al-Imam Al-’Allamah Al-Albani 
rahimahullahu sebagaimana dalam Al-Hawi Min Fatawa Al-Albani (hal. 428) 
ketika menjawab pertanyaan tentang seseorang yang mengetahui secara 
yakin bahwa kedua orangtuanya bermuamalah dengan jual beli yang haram 
dan mayoritas penghasilannya bersumber dari muamalah yang haram 
tersebut, apakah boleh baginya untuk menyantap hidangan yang disajikan 
oleh orangtuanya ketika berkunjung kepada mereka?
Beliau berfatwa: “Boleh pada batas secukupnya, sekadar memenuhi 
kebutuhannya yang bersifat darurat, dan tidak lebih dari itu. Karena 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam sebuah 
hadits shahih yang datang dari beberapa jalan periwayatan:
كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Setiap daging yang yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas baginya. ”3
Terkait dengan masalah ini, apakah disyariatkan bagi seseorang untuk 
menanyakan sumber harta yang dihibahkan atau dihadiahkan kepadanya dan 
menanyakan sumber makanan yang disuguhkan buatnya?
Jawabannya: Hal itu tidak disyariatkan. Karena Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam tidak menanyakan sumber domba bakar yang diberikan 
oleh wanita Yahudi kepadanya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/344):
“Hal itu (yakni menanyakan sumber harta) bukan ajaran Nabi Muhammad bin 
Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya serta 
sahabatnya yang mulia g. Juga karena hal itu akan menyebabkan adanya 
jarak atau kedengkian atau putusnya hubungan. Kami mewasiatkan kepadamu 
agar tidak bersikap berlebih-lebihan dalam perkara-perkara seperti ini 
yang justru akan menjerumuskan dirimu dalam kesulitan yang 
memberatkanmu. ”
2. Permasalahan yang kedua serupa dengan permasalahan pertama. Untuk 
permasalahan ini, secara khusus Al-Lajnah Ad-Da`imah telah berfatwa 
dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/344-345):
“Engkau berkewajiban untuk menasihati ayahmu dengan menerangkan haramnya
 riba serta azab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala siapkan bagi pelakunya. 
Dan tidak boleh bagimu menerima darinya apa yang engkau ketahui bahwa 
dia menghasilkannya dengan muamalah riba. Wajib atasmu untuk mencari 
rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mencurahkan seluruh 
kemampuanmu dalam menempuh usaha-usaha yang syar’i (halal) menurut 
ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa bertakwa kepada Allah 
Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan 
urusannya. ”
Demikian pula fatwa Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu sebagaimana dalam Al-Hawi Min Fatawa Al-Albani (hal. 428):
“Jika dia hidup di bawah tanggungan ayahnya yang diyakini olehnya 
bermuamalah riba, sementara pendidikan yang dijalaninya hanyalah 
merupakan jalan untuk mencari rizki dan bukan perkara wajib atasnya, 
maka wajib atasnya untuk menempuh segala macam usaha yang mampu 
diupayakannya (dalam mencari rizki) agar bisa berlepas diri dari nafkah 
ayahnya yang bersumber dari kemaksiatan. Meskipun terpaksa meninggalkan 
pendidikannya, karena pendidikan itu sendiri tidak wajib atas dirinya. 
Sehingga dirinya bisa berusaha untuk menghasilkan rizki yang halal 
dengan jerih payah tangannya dan cucuran keringatnya sendiri. Hal ini 
lebih baik dan lebih kekal. Aku berkeyakinan bahwa mata pencaharian 
rizki masih luas medannya di negeri kalian pada khususnya, sehingga 
memungkinkannya untuk meninggalkan pendidikan meskipun sementara waktu, 
dalam rangka mengupayakan sendiri rizki yang mencukupinya dan menjaga 
dirinya dari nafkah ayahnya (yang kotor). Namun jika dia terpaksa hidup 
di bawah tanggungan nafkah ayahnya untuk memenuhi hajatnya yang bersifat
 darurat, dalam keadaan dirinya tidak suka dengan hal itu dan tidak 
melampaui batas daruratnya, maka tidak boleh baginya menuntut lebih dari
 sekadar untuk mempertahankan hidupnya dan mengatasi kepayahannya serta 
menjaga dirinya dari meminta-minta kepada manusia. ”
Wallahu a’lam bish-shawab.
Bagaimana pula sikap kita jika ada suatu masjid atau fasilitas umum 
lainnya yang dibangun oleh seorang yang berpenghasilan haram seperti 
riba dan yang lainnya, apakah kita shalat di mesjid itu dan menggunakan 
fasilitas-fasilitas umum itu?
Jawab:
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berfatwa dalam Asy-Syarhul Mumti’, Kitabul Bai’ Babul Ijarah dalam permasalahan ini:
“Tidak mengapa shalat di mesjid itu meskipun dibangun dari harta riba 
atau usaha haram lainnya, karena dosa maksiat itu atas pelakunya 
sendiri. Adapun terkait dengan kita maka di hadapan kita ada masjid yang
 menghadap ke kiblat, dan tidak ada sesuatu apapun dalam mesjid itu yang
 menghalangi kita untuk memamfaatkannya. Demikian pula kita mengatakan 
bahwa barangkali yang membangun masjid itu telah bertaubat dan dia 
membangunnya dalam rangka berlepas diri dari dosa dan dari hasil 
usahanya yang haram, berarti shalat kita di mesjid itu merupakan 
dorongan dan dukungan baginya untuk bertaubat.
Wajib atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan 
syariat dan akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan buta (yang 
menuruti hawa nafsu), karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin 
sejak zaman para sahabat. Tidak ada yang menyeret Khawarij4 untuk 
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Ali bin Abi 
Thalib radhiyallahu ‘anhu selain permainan perasaan buta mereka (yang 
menuruti hawa nafsu). Tuduhan dusta mereka bahwa Ali bin Abi Thalib 
radhiyallahu ‘anhu telah berkhianat dan telah kafir dengan sebab tahkim 
(menyerahkan penyelesaian masalah kepada utusannya) yang dilakukannya 
serta tuduhan dusta lainnya adalah dampak dari permainan perasaan buta 
mereka (yang menuruti hawa nafsu). ” Demikian pula hukum pemanfaatan 
fasilitas-fasilitas umum lainnya sama dengan ini.
Wallahul muwaffiq ila sawa`is sabil.
1 Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا . . . الْحَدِيْثَ
“Bahwasanya seorang wanita Yahudi mendatangi Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor domba yang telah dibumbui racun ,
 maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya…. ” (HR. 
Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim no. 2190)
Kisah ini terjadi pada masa penaklukan Khaibar. (Lihat Shahih Ash-Shirah
 An-Nabawiyyah hal. 352-353 dan Fathul Bari syarah hadits Abu Hurairah 
radhiyallahu ‘anhu pada Kitab Al-Maghazi, Bab Asy-Syah Al-lati Summat li
 An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bi Khaibar), -pen.
2 Atsar ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 14675) 
dan dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad sebagaimana dalam Jami’ Al-’Ulum Wal 
Hikam syarah hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma. Sufyan 
Ats-Tsauri berkata setelah meriwayatkan atsar ini:
فَإِنْ عَرَفْتَهُ بِعَيْنِهِ فَلاَ تُصِبْهُ
“Jika engkau mengetahui secara persis bahwa yang dihidangkan kepadamu adalah hartanya yang haram maka jangan engkau santap. ”
3 HR. Ahmad, Ath-Thabarani, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim serta yang 
lainnya dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan sahabat lainnya, 
dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah pada hadits 
no. 2609.
4 Mereka adalah kaum yang tadinya bersama ‘Ali bin Abi Thalib 
radhiyallahu ‘anhu dan penduduk ‘Iraq dalam menghadapi Mu’awiyah 
radhiyallahu ‘anhu dan penduduk Syam pada perang Shiffin. Ketika tanda 
kemenangan mulai nampak di pihak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu 
dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu beserta pasukannya mengangkat 
mushaf-mushaf Al-Qur`an untuk meminta sulh (perdamaian), merekalah yang 
memaksa ‘Ali radhiyallahu ‘anhu untuk menerima tahkim tersebut. Dan 
tahkim itupun terwujud sehingga perang berakhir. Sepulang dari Shiffin, 
mereka terbawa oleh perasaan kecewa dan hawa nafsu untuk tidak mengikuti
 ‘Ali radhiyallahu ‘anhu masuk ke Kufah dan justru menuduhnya dengan 
tuduhan-tuduhan dusta tersebut dan melepaskan diri dari pemerintahannya.
 Kemudian mereka berkumpul di Harura` (daerah di Kufah) sehingga mereka 
juga dikenal dengan kelompok Haruriyyah. Selanjutnya mereka berkumpul di
 Nahrawan (daerah di ‘Iraq) untuk memberontak. Jumlah mereka sekitar 12.
 000 orang. Sebelum ‘Ali radhiyallahu ‘anhu memerangi mereka, beliau 
mengutus Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk menasihati dan mendebat 
syubhat-syubhat mereka yang lemah. Hasilnya banyak dari mereka bertaubat
 dan sisanyapun ditumpas di sana, sehingga mereka dikenal sebagai 
Ashabun Nahrawan. (Al-Bidayah wan Nihayah juz 7 kisah perang Shiffin 
sampai perang Nahrawan) pen. 
Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbin Al-Makassari
Courtesy : www. darussalaf. or. id
 
 
No comments:
Post a Comment